[hanomantoto]

TEMPO.CO, Jakarta – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa, menyampaikan sembilan rekomendasi untuk percepatan transisi energi berkeadilan dan terarah. Rekomendasi itu terdiri dari lima untuk jangka pendek dan empat untuk jangka panjang.

Menurut Fabby, rekomendasi pertama untuk jangka pendek yang bisa diambil adalah menetapkan target dan peta jalan transisi energi dengan pilihan biaya yang paling murah (cost effective) dengan kehandalan pasokan yang optimal, dan penurunan emisi gas rumah kaca yang selaras dengan target 1,5 derajat celsius.

“Komitmen transisi energi perlu diperkuat dengan peningkatan target bauran energi terbarukan dalam Kebijakan Energi Nasional, mengembalikan target 23 persen bauran pada 2025, dan meningkatkan signifikan target bauran 2030,” kata Fabby dalam keterangan tertulisnya, Kamis, 7 November 2024.

Selain itu, penyusunan peta jalan transisi energi perlu memberikan transparansi pada implikasi biaya dari berbagai skenario yang dipertimbangkan agar keputusan pencapaian target merefleksikan biaya paling optimal.

Kedua, mengakselerasi penyelesaian kebijakan dan regulasi transisi energi dalam perencanaan (pipeline) untuk mendukung peta jalan transisi energi Indonesia. Sejumlah kebijakan transisi energi perlu diselesaikan dalam 100 hari pertama pemerintahan Prabowo -Gibran, seperti kebijakan dan regulasi yang mencakup Kebijakan Energi Nasional (KEN), Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), peta jalan pengakhiran operasi PLTU batubara, dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL).

Ketiga, melakukan reformasi subsidi dan kompensasi energi ke dukungan sosial langsung. Pemerintah perlu membentuk tim dan menyusun strategi reformasi subsidi dan kompensasi energi ke dukungan sosial langsung pada kelompok rentan sampai kelompok masyarakat yang berpotensi masuk kelas menengah (aspiring middle class).

Keempat, menerapkan reformasi kebijakan sektor ketenagalistrikan sesuai rekomendasi yang disusun dalam Comprehensive Investment and Policy Plan (CIPP). “Dokumen CIPP memberikan rekomendasi prioritas untuk penyesuaian regulasi ketenagalistrikan. Reformasi kebijakan ini juga memungkinkan Indonesia untuk mendorong implementasi pendanaan Just Energy Transition Partnership (JETP) dan pendanaan lanjutannya sesuai joint statement JETP,” kata Fabby.

Kelima, pengentasan program dedieselisasi 5400 unit PLTD dengan total kapasitas 3,5 GW dengan pembangkit energi terbarukan setempat untuk memberikan listrik yang cukup untuk tingkat akses listrik dengan level tier-3 (minimum 692kWh/cap/tahun).

Fabby mengatakan rencana dedieselisasi telah mengalami penundaan dalam tiga tahun belakangan ini dan butuh diakselerasi dengan target finalisasi yang jelas. “Padahal pelaksanaan program dedieselisasi ke pembangkit energi terbarukan memberikan manfaat, di antaranya berupa pengurangan biaya pembangkitan listrik lokal dan mengurangi kebutuhan diesel dan impornya,” ujarnya..

Untuk rekomendasi jangka panjang, pertama, membangun diplomasi energi untuk menarik investasi dan transfer teknologi melalui kerjasama Selatan-Selatan. Indonesia bisa memanfaatkan hubungan baik yang sudah dibangun selama ini untuk membangun kerjasama Selatan-Selatan untuk menjadi hub transisi energi global.

Kedua, kata Fabby, menciptakan faktor pendukung (enabling environment) yang mendorong transformasi model bisnis industri dan BUMN dalam transisi energi. “Transisi energi akan menyebabkan transformasi model bisnis industri serta BUMN yang ada di masing-masing sektor. Transformasi terjadi karena disrupsi teknologi energi bersih yang semakin murah,” tuturnya.

Fabby mengatakan peran PLN dapat berubah, tidak hanya untuk jual beli tenaga listrik, tetapi memberikan jasa penyediaan dan manajemen energi dengan kualitas tinggi ke konsumen. Perusahaan energi fosil melakukan diversifikasi bisnis dan menanamkan investasi pada energi bersih.

“Pemerintah perlu mengidentifikasi tren-tren tersebut dan menyusun kerangka regulasi pendukung sehingga menciptakan enabling environment untuk transformasi model bisnis industri,” ucap Fabby.

Ketiga, penerjemahan target pengembangan energi bersih (energi terbarukan, hidrogen) ke peta jalan pengembangan industri, pembangunan, dan penyiapan SDM untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.

Supaya industri energi bersih tumbuh, maka pemerintah perlu menyusun paket insentif untuk pengembangan industri energi bersih domestik yang diselaraskan dengan strategi penyiapan tenaga kerja sesuai standar kompetensi yang dibutuhkan, dukungan penelitian dan inovasi teknologi rendah karbon, sampai pembangunan infrastruktur pendukung seperti jaringan listrik dan penyimpanan energi, serta fasilitas standarisasi dan tes untuk teknologi energi bersih.

Keempat, kata Fabby, meningkatkan transparansi dan partisipasi pada pengambilan kebijakan energi dan pelibatan aktor yang luas. Ini perlu dilakukan karena transisi energi mempunyai dampak yang luas ke berbagai aktor.

Proses penyusunan strategi dan peta jalan transisi energi perlu melibatkan berbagai aktor dan kelompok terdampak seperti bisnis dan industri, pekerja, masyarakat adat, pemuda, akademisi, perempuan, media dan lainnya. “Selain itu, kanal komunikasi mengenai kebijakan transisi energi perlu dibuat lebih terjadwal dan mudah diakses oleh banyak pihak,” kata Fabby.



hanomantoto