[hanomantoto]

TEMPO.CO, JakartaStunting masih menjadi masalah kesehatan di Indonesia meski prevalensinya turun dari 30,8 persen pada 2018 menjadi 21,5 persen pada 2023. Pemerintah Pusat kemudian menargetkan penurunan stunting 18 persen pada 2025.

Pakar kesehatan dari Unit Kerja Koordinasi (UKK) Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Meta Hanindita, pun mengingatkan ibu rumah tangga mengevaluasi tumbuh kembang anak secara rutin untuk pencegahan stunting primer yang kasusnya masih ditemukan di Jakarta.

“Caranya secara rutin berat badan ditimbang, panjang atau tinggi badan diukur dengan alat yang berstandar dengan cara yang benar setiap bulan,” katanya, Jumat, 8 November 2024.

Meta menjelaskan dengan memantau anak setiap bulan bisa diketahui kondisi normal menurut usia. Kemudian untuk kewenangan pencegahan stunting primer ini berada pada tingkat kader di posyandu.

“Di posyandu, jika ada anak yang saat diukur dan ditimbang berat badan atau panjang badannya kurang, atau status gizinya kurang, atau kenaikan berat badannya mulai seret maka harus segera dirujuk ke puskesmas,” saran Meta.

Lalu, apabila anak sudah dirujuk ke puskesmas maka masuk pencegahan sekunder. Menurut Meta, tenaga kesehatan di puskesmas harus mengkonfirmasi ulang kondisi anak dengan kembali mengukur tinggi dan berat badannya. Apabila dokter di puskesmas menemukan anak mengalami gangguan gizi maka dia harus mencari penyebab dan mengatasinya.

“Kalau memang diindikasikan (masalah gizi) boleh diterapi nutrisi,” ujarnya.

Rujuk ke dokter anak
Kemudian bila dalam satu atau dua minggu tidak ada perbaikan di level puskesmas maka dokter umum harus merujuk sampai ke level rumah sakit umum daerah (RSUD) agar anak ditangani dokter spesialis anak.

“Kalau sudah sampai spesialis anak itu namanya sudah masuk pencegahan tersier. Ini dilakukan pada anak yang tidak bisa dilakukan penatalaksanaan dengan baik di puskesmas. Dokter yang akan menentukan pendeknya ini stunting atau bukan dengan melakukan pengukuran ulang” jelas Meta.

Sementara itu, khusus di Jakarta, data Dinas Kesehatan DKI Jakarta menunjukkan  36.664 balita menghadapi masalah gizi dari Januari hingga Agustus 2024. Dari data tersebut, 26,74 persen atau 10.340 anak mengalami stunting, lalu 4,24 persen atau 1.638 anak mengalami gizi buruk. Kemudian 26,32 persen atau 10.178 anak mengalami kurang gizi dan sekitar 42,70 persen atau 16.508 anak mengalami berat badan kurang.

Meski demikian, dari 10.340 kasus stunting, sebanyak 5.969 anak sudah membaik dan 4.371 anak masih berjuang mengatasi kondisi. Dalam mengurangi masalah stunting, Pemerintah Provinsi Jakarta berkolaborasi dengan berbagai pihak melalui program Jakarta Beraksi atau Bergerak Atasi Stunting.



hanomantoto