Menteri Agama Minta Kejaksaan Agung dan KPK Dampingi Penyelenggaraan Haji 2025
[hanomantoto]
TEMPO.CO, Jakarta – Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar meminta Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ikut mendampingi penyelenggaraan ibadah haji. Menurut Nasaruddin, pengawasan Kejaksaan Agung dan KPK bisa membantu membersihkan Kementerian Agama dan penyelenggaraan haji dari praktik korupsi.
“Kami sudah berbicara tadi dengan Pak Jaksa Agung tadi, minta pendampingan, dan dalam waktu dekat kami mencari schedule untuk juga berbicara dengan KPK, supaya masalah haji ini mohon didampingi,” kata Nasaruddin dalam Mudzakarah Perhajian di Bandung, Jawa Barat seperti dikutip dari kanal YouTube Kementerian Agama pada Jumat, 8 November 2024.
Nasaruddin berujar tidak ingin mendengar ada penyimpangan sekecil apapun di Kementerian Agama, baik di dalam maupun luar negeri. “Karena itu saya selaku Menteri Agama mengingatkan kepada seluruh aparat Kementerian Agama terutama, hari ini kita akan membersihkan secara total Kementerian Agama,” ucap Nasaruddin.
Nasaruddin mengatakan penyelenggaraan haji bisa sukses dan lancar jika umat terlayani dengan baik. Selain itu, penyelenggara haji juga harus memastikan bahwa tidak ada penyelewengan apapun yang merugikan negara.
Nasaruddin juga menyinggung janji Presiden Prabowo Subianto untuk membersihkan instansi pemerintah dan swasta dari praktik lancung. Nasaruddin memuji janji Prabowo tersebut. “Beliau akan tertibkan dan bersihkan sesuatu yang merusak tradisi luhur Bangsa Indonesia,” ucap dia.
Pemberantasan korupsi menjadi salah satu agenda besar Prabowo setelah menjadi Presiden ke-8. Prabowo mencantumkan poin memperkuat reformasi politik, hukum, dan birokrasi, serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi dan narkoba dalam merumuskan Astacita pemerintahannya.
Tempo pada edisi 10 Agustus 2024 melaporkan bahwa isu korupsi sempat menggoyang penyelenggaraan ibadah haji 2024. Menteri Agama saat itu, Yaqut Cholil Qoumas, dilaporkan ke KPK oleh sejumlah kelompok masyarakat atas dugaan penyalahgunaan wewenang dalam pengalihan kuota haji reguler ke haji khusus sebesar 50 persen.
Direktur Jendral Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama Hilman Latief sebelumnya mempersilakan masyarakat melapor bila memang memiliki bukti adanya korupsi dalam pengalokasian kuota tambahan haji khusus. “Monggo dibuktikan saja, kira-kira ada korupsi di bagian apa,” ujarnya saat itu.
Pengamat haji dan umrah dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dadi Darmadi, menilai potensi korupsi dalam penyelenggaraan haji biasanya muncul dalam pengadaan jasa dan layanan, seperti katering, tenda, serta hotel. Ketika ada permainan harga, kolusi dengan penyedia layanan, atau ketika kualitas layanan yang diberikan tidak sesuai dengan kontrak, di situlah korupsi terjadi. “Penetapan harga yang tidak wajar dan penggunaan anggaran yang tidak transparan bisa menjadi indikasi,” ucapnya.
Dadi juga menyoroti biaya-biaya kegiatan operasional selama anggota jemaah berada di Arab Saudi. Jumlah kuota haji sudah pasti mempengaruhi biaya kegiatan operasional tersebut. Makin besar kuota yang diberikan, makin besar pula anggaran yang dibutuhkan. “Jika tidak ada pengawasan, ini berpotensi menimbulkan penyimpangan.”
Yohanes Maharso, Defara Dhanya, dan Hendrik Yaputra berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Tinggalkan Balasan