[hanomantoto]

TEMPO.CO, Jakarta – Konferensi Perubahan Iklim (COP29) akan dimulai di Baku, Azerbaijan, pada Senin, 11 November 2024. Pertemuan global ini akan fokus membahas peningkatan kontribusi penurunan emisi yang ditentukan secara nasional (Nationally Determined Contribution/NDC), pengamanan pembiayaan iklim, dan pembangunan ketahanan di daerah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Dalam diskusi Lapor Iklim jelang COP29, Jumat, 8 November 2024, dibahas bahwa Indonesia saat ini sedang dalam proses menyerahkan NDC kedua dengan batas akhir pengiriman pada akhir 2024. Dalam NDC sebelumnya (2022), Indonesia menargetkan penurunan emisi karbon sebesar 31,89 persen atau setara 915 juta ton CO2 pada 2030, dengan peningkatan menjadi 43,2 persen atau setara 1.240 juta ton jika didukung internasional.

Direktur Eksekutif Yayasan Madani Berkelanjutan, Nadia Hadad, mengaku belum mengetahui persis isi dokumen yang telah disiapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada pemerintahan sebelumnya. Namun, dia berharap NDC kedua punya pemihakan yang tegas terhadap masyarakat rentan.

“Sebanyak 64 organisasi telah mengirimkan masukan kepada pemerintah untuk mendefinisikan masyarakat rentan dalam NDC kedua,” kata Nadia dalam diskusi di Gedung Graha CIMB Niaga Jakarta, Jumat.

Masyarakat rentan yang dimaksud, termasuk masyarakat adat, perempuan, anak-anak, petani, nelayan dan kelompok disabilitas perlu disebutkan secara eksplisit. “Ini penting agar implikasinya jelas pada kebijakan-kebijakan turunannya” tuturnya.

Direktur Eksekutif Yayasan Pikul, Tory Kuswardono, menekankan bahwa COP29 akan menjadi patokan baru kontribusi NDC. “Berdasarkan perhitungan saat ini, target Perjanjian Paris untuk membatasi kenaikan suhu bumi di 1,5 derajat celcius tidak akan tercapai,” ujarnya. “Sehingga negara-negara yang meratifikasinya perlu memastikan NDC masing-masing sesuai dengan target atau memperbaharui target baru yang lebih agresif.”

Menurut dia, tantangan pendanaan juga menjadi sorotan penting karena biaya yang dibutuhkan tidak sedikit. “Perhitungan standing committee memperkirakan kebutuhan pendanaan iklim global setiap tahunnya hingga 2030 mencapai US$ 8 triliun,” kata Tory.

Pendanaan bukan hanya mencakup mitigasi dan adaptasi iklim, tapi juga kehilangan dan kerusakan terhadap aset sumber daya alam dan perlindungan alam/keanekaragaman hayati. Nadia menambahkan bahwa pendanaan untuk adaptasi seharusnya tidak diberikan dalam bentuk utang, dan perlu reformasi arsitektur pendanaan global. 

Sementara Direktur Perubahan Iklim dari Kemitraan, Eka Melisa, menyebutkan bahwa Indonesia harus memanfaatkan jaringan BRICS, mengingat Presiden Prabowo Subianto telah menyatakan keinginan bergabung. “Kita perlu melihat konstelasi pendanaan iklim, siapa yang mendanai, bagaimana memanfaatkan jaringan ekonomi negara-negara BRICS untuk kepentingan Indonesia,” katanya.

Di tengah tantangan global ini, kemenangan Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat juga dipastikan akan berdampak pada kebijakan pendanaan iklim global.



hanomantoto