Donald Trump Terpilih sebagai Presiden AS, Pakar Energi Risaukan Nasib Aksi Mitigasi Iklim
[hanomantoto]
TEMPO.CO, Jakarta – Terpilihnya kembali Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada pemilu 2024 dinilai menjadi tantangan besar bagi upaya mitigasi perubahan iklim global. Pasalnya, sejumlah program yang berdampak pada mitigasi perubahan iklim terancam dihentikan oleh Trump.
Trump sebelumnya berjanji akan mencabut dana dari Inflation Reduction Act—sebuah kebijakan dengan alokasi dana US$ 400 miliar untuk mendukung energi bersih dan mitigasi perubahan iklim. Ia juga mengisyaratkan keinginan untuk memperkuat penggunaan bahan bakar fosil serta menarik diri dari Perjanjian Paris.
Hal ini memicu reaksi terhadap implikasinya di kalangan pakar perubahan Iklim dan transisi energi bersih global. Mereka menilai bahwa kemenangan Trump membuat penanganan krisis iklim berada di titik kritis.
Para pakar energi di Asia berpendapat bahwa kemajuan energi bersih yang kuat membuat transisi energi tidak dapat dihindari. Selain itu, negara-negara di Asia sudah melihat bagaimana mempercepat energi terbarukan serta mengurangi ketergantungan pada energi fosil berguna bagi negara mereka.
Direktur Eksekutif Center for Energy, Ecology, and Development (CEED), Gerry Arances, mengingatkan bahwa dengan kemenangan Trump, seruan untuk tindakan global harus diperkuat agar dunia tetap berada di jalur untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5°C.
“Terutama melalui penghentian penggunaan bahan bakar fosil, transisi energi terbarukan yang adil, serta penyaluran dana dan sumber daya iklim yang menjadi kewajiban negara-negara maju kepada negara-negara yang paling rentan di dunia,” ujar Gerry dalam keterangan tertulis, Kamis, 7 November 2024.
Dalam waktu dekat, kemenangan Trump diperkirakan akan membawa konsekuensi iklim yang lebih luas bagi Asia. Pada bulan Januari, Presiden Biden menghentikan sementara persetujuan untuk ekspor LNG dari proyek-proyek yang tertunda dan yang masih dalam tahap perencanaan. Meski kemenangan Kamala Harris tidak akan memastikan bahwa jeda ini akan terus berlanjut, para ahli berpendapat bahwa terpilihnya kembali Trump dapat mengakhiri moratorium ini dengan lebih cepat.
Para ahli tersebut mengatakan bahwa perubahan moratorium ini dapat mempengaruhi capaian target dekarbonisasi nasional dan regional berbagai negara di Asia. “Para eksportir LNG AS yang mengandalkan potensi pertumbuhan pasar LNG Asia harus ingat bahwa LNG tidak akan mendarat dengan murah di Asia. Asia Tenggara jelas bukan Jepang dan Korea Selatan,” kata Putra Adhiguna, Direktur Pelaksana Energy Shift Institute, lembaga think tank energi di Asia Tenggara.
Seiring dengan menurunnya biaya energi terbarukan dan biaya penyimpanan serta meningkatnya pengawasan terhadap emisi metana LNG, Putra mengatakan, negara-negara Asia akan membuat pilihan mereka dengan hati-hati.
Putra menjelaskan, jika semua proyek gas yang direncanakan di Asia terealisasi, kapasitas gas di kawasan ini akan berlipat ganda. Menurut Global Energy Monitor, hal ini juga akan meningkatkan impor LNG sebesar 80 persen.
Penelitian terbaru juga menunjukkan bahwa gas yang diekspor memiliki emisi yang lebih tinggi dibandingkan batu bara —keduanya tidak dapat dibangun baru jika dunia ingin menjaga kenaikan suhu di bawah 1,5 derajat dan menghindari bencana iklim yang tidak dapat dipulihkan.
Pembangunan seperti itu juga tidak sejalan dengan perkiraan permintaan gas di wilayah tersebut. Permintaan gas di Jepang dan Korea Selatan sebagai importir LNG terbesar di Asia diperkirakan akan mengalami penurunan secara konsisten beberapa tahun mendatang.
Menurut International Energy Agency, pesatnya pertumbuhan energi diperkirakan akan membuat permintaan gas mencapai puncaknya sebelum 2035. Setelah itu, permintaan gas di Asia Tenggara diproyeksikan menurun hampir 40 persen antara 2035 dan 2050, sejalan dengan kebijakan yang telah diumumkan negara-negara di kawasan ini.
Tinggalkan Balasan