Dampak Kemenangan Donald Trump Bagi Ekonomi Indonesia, Begini Kata Sri Mulyani dan Gubernur BI
[hanomantoto]
TEMPO.CO, Jakarta – Kemenangan Donald Trump atas Kamala Harris dalam pemilihan presiden Amerika Serikat atau Pilpres AS 2024 disebut bakal berpengaruh bagi perekonomian Indonesia. Bahkan, Menteri Keuangan atau Menkeu Sri Mulyani Indrawati dan sejumlah pakar turut memberikan tanggapan soal dampak terpilihnya Trump ini.
Adapun Trump, kandidat Partai Republik, unggul atas usungan Partai Demokrat, Kamala dengan perolehan suara sekitar 50,9 persen. Salah satu kebijakan yang dikampanyekannya dalam agenda ‘America First’ adalah pendekatan proteksionisme. Kebijakan inilah disinyalir yang akan berdampak pada banyak negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pendekatan proteksionisme merupakan kebijakan yang mengutamakan kepentingan ekonomi domestik dan mendorong kebijakan yang menekan ketergantungan pada negara lain. Profesor Ekonomi di Harvard, Dani Rodrik, mengatakan bahwa proteksionisme negara maju sering kali membatasi ruang pertumbuhan bagi negara berkembang.
“Kendati proteksionisme bertujuan untuk melindungi pasar domestik, negara berkembang dapat menghadapi tekanan lebih besar dalam mencari pasar alternatif atau dalam bersaing di sektor-sektor lain,” katanya, seperti dikutip dari Antara.
Menkeu Sri Mulyani mengamini akan ada dampak bagi perekonomian Indonesia dengan terpilihnya Trump sebagai Presiden AS. Bendahara negara sejak era Presiden ke-7 RI Joko Widodo atau Jokowi ini mengatakan kebijakan Trump kemungkinan juga akan mempengaruhi kebijakan ekonomi pemerintah Indonesia.
“Donald Trump terpilih lagi pada Pemilu, itu bakal menimbulkan banyak kebijakan berubah,” ujar Sri Mulyani dalam konferensi kinerja APBN di kantor Kementerian Keuangan, Jakarta Pusat, Jumat, 8 November 2024.
Menurut Sri Mulyani, Kementerian Keuangan atau Kemenkeu mencatat ada lima kebijakan yang kemungkinan akan diterapkan. Di antaranya, penurunan pajak korporasi, ekspansi belanja, hingga proteksionisme dagang. Selain itu ada kemungkinan dorongan gencatan senjata, dan komitmen yang rendah terhadap isu perubahan iklim.
Hal ini buntut dari sikap proteksionisme yang diyakini dapat menyebabkan naiknya tarif impor terhadap negara-negara yang berdagang dengan AS terutama China. Eks Direktur Pelaksana Bank Dunia ini memaparkan, respons Trump terhadap perubahan iklim sangat berbeda dengan Presiden Joe Biden yang berasal dari Partai Demokrat.
“Tentu ini akan berdampak pada harga minyak dunia, maupun tren dari isu-isu climate change dan energi,” ujarnya.
Akibatnya adalah harga-harga komoditas energi global bisa rendah. Seperti misalnya minyak, batu bara dan gas yang berkontribusi pada penerimaan negara bukan pajak atau PNBP. Proyeksi tersebut telah menimbulkan dampak, bahkan sebelum Trump resmi dilantik.
“Yield US Treasury (Imbal hasil obligasi AS), terutama yang 10 tahun naik, karena ekspektasi terhadap APBN Amerika yang cukup ekspansif,” kata dia.
Kenaikan obligasi 10 tahun AS sebesar 4,4 persen menyebabkan dolar makin perkasa. Imbasnya meluas, karena menurut dia, penggunaan kurs dolar bahkan melebihi 50 persen transaksi di seluruh dunia. Menguatnya indeks dolar AS, setelah terpilihnya Trump menyebabkan rupiah tertekan pada pekan ini.
Sementara itu, menurut Peneliti Bidang Ekonomi The Indonesian Institute Center for Public Policy Research (TII), Putu Rusta Adijaya, terpilihnya Trump sebagai Presiden AS yang mengedepankan kebijakan proteksionisme perdagangan internasional bisa merugikan Indonesia. Salah satunya terkait potensi pengurangan jumlah ekspor.
“Dampak pertama tentu saja akan ada potensi pengurangan net export Indonesia karena Trump akan menaikkan sekitar 10-20 persen tarif barang-barang impor yang masuk ke AS,” ujarnya di Jakarta, Kamis, 7 November 2024, seperti dikutip dari Antara.
Pengurangan net export buntut kebijakan proteksionisme Trump disebut akan berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi Indonesia ke depannya. Berdasarkan Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi Triwulan III 2024 adalah 4,95 persen year-on-year yang mana masih di bawah rata-rata 5 persen yang dicapai beberapa tahun terakhir.
Dampak kedua adalah adanya capital outflow atau dolar pulang kampung ke AS. Hal ini lantaran Trump berjanji untuk memberikan insentif sangat besar, seperti pemotongan pajak dan deregulasi bagi perusahaan multinasional Amerika dan bahkan investor asing untuk lebih berfokus mengembangkan barang dan/atau jasanya di AS. Akibatnya, nilai tukar rupiah diprediksi akan melemah.
“Insentif maupun kondisi ekonomi domestik di AS lebih menarik dibandingkan kondisi ekonomi di negara berkembang seperti Indonesia, maka terjadi capital outflow. Muaranya adalah ke pelemahan nilai tukar rupiah. Perusahaan di Indonesia yang berutang dengan dolar akan semakin terbebani. Dampak jangka panjang yang ditakutkan adalah efisiensi perusahaan dengan PHK,” kata Putu.
Dampak ketiga, proteksionisme juga berpotensi akan dilakukan oleh negara-negara lain. Hal ini akan membuat perdagangan internasional akan semakin menjauh dari semangat perdagangan bebas. Kalau nanti para mitra dagang Indonesia melakukan proteksionisme imbas dari kebijakan Trump, Indonesia akan semakin merugi.
“Kebijakan proteksionisme sedang terjadi dan kemungkinan akan tereskalasi karena Trump. Makin berjamur,” katanya.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo juga mengungkapkan akan ada tiga dampak yang bakal dirasakan di Indonesia setelah Donald Trump menang Pilpres AS 2024. Prediksi-prediksi pasar ekonomi itu Perry sampaikan dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta Pusat, Rabu, 6 November 2024 lalu.
Gubernur BI mengatakan dinamika di AS turut terasa sampai negara emerging market, termasuk Indonesia. Adapun tiga hal utama yang menjadi dampak Trump menang di AS, yaitu pertama, adanya tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Kedua, BI menyebut ada potensi tekanan kepada arus modal. Ketiga, Perry mengantisipasi pengaruh terhadap ketidakpastian di pasar keuangan.
“Ini yang harus kita respons secara hati-hati. BI terus menyampaikan komitmen menjaga stabilitas dan turut mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (serta) bersinergi erat dengan pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK),” katanya.
Senada, Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, saat dihubungi Antara, juga menilai kemenangan Trump dalam Pilpres AS berpotensi menekan kurs rupiah. Ia menjelaskan bahwa kebijakan ekonomi AS yang pro-pertumbuhan dapat mendorong penguatan ekonomi negara itu sehingga meningkatkan permintaan terhadap Dolar AS. Namun, hal ini bisa berimbas pada depresiasi rupiah.
Depresiasi ini, kata dia, membuat impor Indonesia lebih mahal dan berisiko memicu imported inflation, atau inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan harga barang impor. Akibatnya, BI mungkin perlu melakukan intervensi untuk menstabilkan rupiah, sehingga membatasi kemampuannya untuk menurunkan BI-rate, yang dapat meningkatkan biaya pinjaman untuk bisnis dan konsumen di Indonesia.
Selain itu, imbal hasil obligasi pemerintah AS yang lebih tinggi di bawah pemerintahan Trump dapat meningkatkan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) Indonesia. Dengan imbal hasil UST yang tinggi, Josua menilai pemerintah Indonesia mungkin harus membayar lebih untuk utang luar negeri yang dapat mengurangi fleksibilitas fiskal Indonesia, terutama dengan jatuh tempo utang besar dalam dua tahun mendatang.
Namun, Josua memberikan catatan, ada beberapa potensi manfaat bagi Indonesia. Kebijakan Trump yang mendukung sektor energi tradisional, seperti minyak dan gas, dapat menekan harga minyak dunia. Hal ini mungkin menguntungkan Indonesia yang merupakan importir minyak.
“Namun, potensi keuntungan ini dapat diredam oleh kemungkinan revisi sanksi terhadap produsen utama Iran. Meningkatnya volatilitas pasar dan risiko hambatan perdagangan baru juga dapat berdampak pada berbagai sektor di Indonesia,” jelasnya.
Di sisi lain, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono mengatakan, kemenangan Trump justru memberi harapan terhadap membaiknya kondisi pasar ekspor kelapa sawit. Ia menyebut, perang yang terjadi antara Ukraina dan Rusia saat ini, membawa pengaruh sangat besar pada perekonomian dunia. Hal ini, kata Eddy, akhirnya berimbas pada turunnya ekspor kelapa sawit tahun ini.
“Kami melihat, kalau Trump menang, ada harapan untuk menyelesaikan perang. Nah, ini pengaruhnya sangat besar, sehingga eknomi negara-negara bisa meningkat,” ujar Eddy saat ditemui dalam acara 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook (IPOC 2024), Kamis, 7 November 2024.
Eddy menyebut, apabila Trump berhasil menghentikan perang, dampaknya akan dirasakan oleh seluruh dunia. Dia menjelaskan, ekspor kelapa sawit ke Amerika saat ini berjumlah sebesar 2,5 juta ton. Angka ini, kata Eddy, terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun, akibat terjadinya perang, ekspor ke negara lain menurun. Dia mencontohkan ekspor kelapa sawit ke Cina yang menurun cukup drastis sejak terjadi perang.
Oleh karena itu, Eddy berharap agar Trump dapat menghentikan perang, sehingga disrupsi rantai pasok global akan menurun. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), nilai ekspor CPO selama beberapa terakhir memperlihatkan tren penurunan. Pada September 2024, nilai ekspor turun sebesar 24,75 persen secara tahunan (year on year/yoy) menjadi US$ 1,38 miliar.
HENDRIK KHOIRUL MUHID | OYUK IVANI S | ILONA ESTHERINA
Tinggalkan Balasan