[hanomantoto]

TEMPO.CO, Yogyakarta – Mantan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkoplhukam) Mahfud Md mengapresiasi imbauan Presiden Prabowo Subianto kepada jajaran kabinetnya agar mengurangi kunjungan kerja atau kunker dan studi banding ke luar negeri.
 
Prabowo saat pidato acara deklarasi Gerakan Solidaritas Nasional atau GSN di Jakarta 2 Oktober 2024 lalu meminta jajaran kabinetnya jika ingin ke luar negeri memakai uang pribadi untuk menghemat anggaran negara.

“Kegiatan kunker (di pemerintahan) itu sepertinya sederhana, tapi itu sebenarnya penyakit,” kata Mahfud saat menjadi pembicara dalam forum Polgovdays 2024 di Fakultas Ilmu Sosial Politik (Fisipol) UGM Yogyakarta Minggu 10 November 2024.

Dalam forum yang digagas Korps Mahasiswa Politik dan Pemerintahan (KOMAP) Departemen Politik dan Pemerintahan Fisipol UGM itu, Mahfud lantas menceritakan, bagaimana  aktivitas kunker di lingkungan pemerintahan itu layaknya penyakit yang membuat anggaran negara selalu bengkak. 

Sebab, ia mengalaminya sendiri saat masih duduk sebagai anggota DPR medio 2004-2008 silam.

Setiap anggota DPR, kata Mahfud, selalu mendapat jatah kunker ke luar negeri. Terlebih ketika anggota DPR itu masuk sebagai anggota sebuah panitia khusus atau pansus yang bertugas menggarap sebuah produk peraturan perundangan. 

Padahal, dalam satu tahun, bisa ada lima sampai enam pansus terbentuk atau artinya seorang anggota DPR bisa juga lima hingga enam kali kunker ke luar negeri jika terus menjadi anggota pansus.

“Dalam kunker pansus ke luar negeri itu sebenarnya tidak ada sama sekali yang dikerjakan,” kata Mahfud dalam forum bertajuk Transisi Pemerintahan: Evaluasi Kebijakan Pemerintah Untuk Mewujudkan Indonesia Negara Maju itu.

Guru Besar Hukum dan Tata Negara itu pun membenarkan pernyataan  Prabowo jika dalam kunker atau studi banding itu tak ada hal yang perlu dipelajari karena sebenarnya hal yang ingin dipelajari sudah diketahui persoalannya.

“Kalau kemarin Pak Prabowo bilang ‘Untuk apa studi banding ke luar negeri, wong masalahnya itu kita sudah tahu dan di luar negeri tidak akan dapat apa-apa’, itu memang betul,” ujar mantan Ketua MK itu.

“Itu juga yang saya alami dan lakukan saat jadi anggota DPR, ketika itu tahun 2007 saya jadi anggota pansus Undang Undang (UU) Pemilu untuk Pemilu tahun 2009,” kata Mahfud.

Mahfud mengatakan, saat itu pansus sudah selesai merampungkan tugasnya membuat rancangan UU Pemilu yang kemudian diundangkan tahun 2008. 

Mahfud pada 2008 sudah bergeser tugasnya terpilih menjadi Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).

“Namun tiba tiba, saat saya sudah jadi Ketua MK di tahun 2008, ada surat (dari DPR) masuk ke saya bilang ‘Bapak untuk (kunker) Pansus UU Pemilunya, mau milih (negara) mana?’, padahal UU nya kan sudah selesai dibuat tapi kunkernya masih akan dilakukan,” kata Mahfud.

Ia pun menyebut hal itu merupakan kegiatan yang membuang-buang uang.

“Kan artinya buang buang duit itu, wong UU nya sudah jadi, mau studi banding apalagi saya bilang?” kata Mahfud. Saat itu, Mahfud mendapat penjelasan bahwa kunjungan ke luar negeri itu sudah jatahnya. Mereka bisa memilih ke Amerika atau Prancis. “Dan itu eksekutif lo, jadi mahal banget,” kata dia.

Mahfud mengisahkan, saat kunjungan kerja ke luar negeri, pihak kedutaan besar Indonesia di luar negeri juga mengeluh. “Karena kerjaan mereka jadi harus melayani orang-orang kunker itu,” ujar dia. Padahal, kata Mahfud, yang dipelajari juga tidak ada di negara tersebut.

Mahfud pun bersyukur Presiden Prabowo turut membaca potensi buang-buang anggaran dari aktivitas kunjungan kerja ke luar negeri itu. 

Hanya saja, ia ragu, apakah seruan Prabowo untuk menekan kunjungan ke luar negeri itu akan bisa dilaksanakan.

“Ya kita biarkan pemerintahan transisi ini bekerja dulu, namun jika melihat konfigurasi pemerintahan (kabinet Prabowo) sekarang, sepertinya (upaya menghemat anggaran) itu akan sulit terlaksana,” kata Mahfud.

Ia menuturkan, dari track record orang orang yang ditarik masuk kabinet Prabowo banyak yang menurutnya memiliki persoalan bidang hukum dan banyak yang tak memahami soal tata pemerintahan.

“Sehingga saya memang agak ragu, apa (upaya menghemat anggaran) ini bisa jalan, ya tapi soal ini bisa dipelajari, saya dulu saat masuk pemerintahan juga belajar hal-hal teknis ini,” kata dia.

Narasumber lain dalam forum itu, Joko Susilo, seorang pembuat kebijakan publik dan aktivis masyarakat menuturkan tantangan yang dihadapi pemerintah dalam melahirkan kebijakan publik saat ini cukup berat dan harus lebih diawasi.

“Setiap individu masyarakat harus turut mengambil perannya untuk bisa mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan kebutuhan publik,” kata dia.

Menurut Joko, kebijakan yang dibuat pemangku kepentingan seharusnya terhubung pada keresahan masyarakat seperti kemiskinan, ketimpangan, dan permasalahan sosial lainnya.



hanomantoto