PTUN Jakarta Tolak Gugatan Kenaikan Pangkat Jenderal Prabowo Subianto, Koalisi Masyarakat Sipil: Kualitas Putusan Sangat Buruk
[hanomantoto]
TEMPO.CO, Jakarta – Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Impunitas merespons keputusan majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta yang menolak gugatan mereka soal pemberian pangkat kehormatan kepada Prabowo Subianto. Dalam putusannya PTUN menilai penggugat tak memiliki posisi hukum yang kuat.
Salah satu kuasa hukum penggugat, Airlangga Julio, mengakui posisi mereka sebagai penggugat lemah. “Tapi kami tidak menyangka pertimbangan hakim dalam putusan ini memiliki substansi yang sangat buruk,” katanya dalam konferensi pers yang digelar secara daring pada Kamis, 7 November 2024.
Dalam gugatannya dengan Nomor 186/G/2024/PTUN.JKT, koalisi meminta majelis hakim memerintahkan Presiden Joko Widodo selaku tergugat untuk mencabut Keputusan Presiden (Keppres) Republik Indonesia Nomor 13/TNI/Tahun 2024 sekaligus membatalkan pemberian gelar kehormatan kepada Prabowo selaku pihak. Melalui Keppres itu, Jokowi memberikan pangkat Jenderal Bintang 4 kepada Prabowo.
Namun, dalam putusan tertanggal 31 Oktober 2024, majelis hakim menolak gugatan tersebut dengan alasan para penggugat tak memiliki kedudukan hukum yang sah karena tak mengalami kerugian secara langsung. “Pertimbangan putusan dalam gugatan kenaikan pangkat ini juga sangat mengurangi atau mencederai kualitas hakim PTUN di mana pun hakim PTUN itu berada,” kata Airlangga.
Airlangga menyatakan gugatan kenaikan pangkat ini didasari fakta Prabowo Subianto bukanlah seorang perwira TNI aktif. Padahal, tidak ada mekanisme kenaikan pangkat istimewa bagi Warga Negara Indonesia (WNI) yang bukan anggota TNI atau pegawai negeri sipil TNI.
Undang-Undang No. 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia jo. PP No. 39/2010 tentang Administrasi Prajurit Tentara Nasional Indonesia hanya mengatur soal pemberian pangkat kepada orang yang berada dalam struktur hierarki keprajuritan atau kemiliteran, dalam hal ini prajurit aktif. Koalisi menilai pemberian gelar itu bertentangan dengan ketentuan yang berlaku.
Selain itu, menurut koalisi, Prabowo Subianto merupakan salah seorang yang patut dimintai pertanggungjawaban atas kasus penghilangan orang secara paksa tahun 1997/1998. Hal ini didasari oleh temuan sejumlah dokumen, baik Ringkasan Eksekutif Hasil Penyelidikan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM Berat Peristiwa Penculikan dan Penghilangan Orang Secara Paksa Periode 1997-1998, maupun Keputusan Dewan Kehormatan Perwira Nomor: KEP/03/VIII/1998/DKP.
Koalisi menyebut, penganugerahan gelar kehormatan pada orang yang diduga melanggar HAM kontradiktif dengan agenda penegakan dan perlindungan HAM.
Tinggalkan Balasan